Dampak
Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi
Indonesia dan Perekonomian
1. Ekonomi
Indonesia
Thomas
R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa
ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi
salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau
mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi
Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam
laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada
April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah
dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun
pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%.
Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada
ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski
begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan
inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah
krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil
dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari
sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250
basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari
sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan
belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya,
kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus
pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif.
Syahrial
Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas,
menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik
merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan
arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus
level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang
mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan
rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi
melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level
2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks
secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari
terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan
terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).
2. Ekonomi
Indonesia dan Demokrasi
Indonesia
saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona resiko tinggi untuk kehidupan
demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih
kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik. Dengan pendapatan per
kapita sekitar US$3.987 (International Monetary Fund, 2008) GDP Purshasing
Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih berada bahkan di bawah
negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji, Indonesia masih berada di zona rawan
dalam demokrasik. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan demokrasi
di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai US$6.600.
Dari
sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim
demokrasi di Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung
berdasarkan PPP tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat
penghasilan per kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan
rata-rata 18 tahun dan pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000,
daya hidup system demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas
kegagalannya hanya 1:500.
Posisi Indonesia
Dengan
pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana
batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3
jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh
karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia
sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi
dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal
ini akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus
dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income
per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi,
yaitu US$6.600.
Menurut
Boediono, pertumbuhan ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan
catatan: pertama, pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua
prosesnya mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan
kekuatan sumber daya manusia—bukan dengan penjualan kekayaan alam, utang luar
negeri, dan “rezeki nomplok” lainnya.
3. Indonesia Cepat
Lalui Krisis
Menurut
Institute for Management Development (IMD), lembaga think thank dan
pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia
Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki
kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah mengalami krisis keuangan cukup
parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD
mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi
dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami
krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih
waspada dalam kebijakannya.
Stress
test versi
IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis
dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey
57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan
masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai
dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah
berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis
dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri
Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress
test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD
dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih
diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian
pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik
dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian
Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan
kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%.
Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo
secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan
positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara
tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan
ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal
II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi
pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga
dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan
pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit karena
ekspor dan investasi masih lemah.
4. Kebijakan
Moneter Belum Cukup Longgar
Seiring
dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga
acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di
level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen.
Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu
langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh
banyak pihak. Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan diikuti oleh
bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung
terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku
bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan
suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada
pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan
respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode
2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak
dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit
meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi
membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga
membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk Negara-negara lain yang
bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing
produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh
lebih cepat.
Di
Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan
cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan
mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan
menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI
tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat
digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi
berkurang.
Bila
dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan
moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya
masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary base yang
tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini.
Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah
satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative
adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah
melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan
menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula
oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada)
sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system finansial
kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus
mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah
sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah
naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan
realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk
keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang
Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada
Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun.
Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari system
finansial kita pada periode tersebut.
5. Sektor
Perbankan
Direktur
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah
mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan
tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan
catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit dalam
4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan
realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun.
Dengan
realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga
kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga
pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total
kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan
penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan
posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9
triliun.
Halim
menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah
dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih
tumbuh 17%-18%. Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan
posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat
ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan
Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
6. Rasio
Utang RI Turun 30%
Pada
1999 rasio utang Indonesia 100% karena saat itu pemerintah harus mengeluarkan
surat utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk menyelamatkan perbankan
nasional. Setelah itu rasio terus menurun. Menkeu mengatakan bahwa, semua
pemerintahan, mulai dari Presiden Habibi, Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang
memiliki kebijakan yang sama, menurunkan rasio utang-utang.
Tahun
2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33%
terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total
utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700
triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara
(SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp.
906 triliun.
Menurut
kepala Devisi Advokasi dan Jaringan dari Forum Lembaga Swadaya Masyarakat
Internasional di Indonesia, Wahyu Susilo
Dampak
Yang Ditimbulkan Oleh Krisis Ekonomi Global
Asumsi
inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih
(Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat
melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada
di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah
menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia
usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak
konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan
pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP,
menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari
raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga
minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket.
Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua
komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang
impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini
diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika
Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan
dikhawatirkan inflasi akan melebihisatudigit.
Dalam
menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah
satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa
pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan
asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai
sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel,
diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana
dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan
dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah
satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan
melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi,
investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran.
Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.
Pendapat
dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk
mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh
ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk
subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian,
apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari
kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan
pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan
kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam
APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau
APBNP 2008 harus direvisi kembali
Dampak
negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian
global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun
akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek
Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah
disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar
rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai
tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih
berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga
keuangan global.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis
Indonesia, 17 Juni 2009 hal 7, “Boediono, demokrasi, dan ekonomi”
Bisnis
Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “IMF: Ekonomi RI membaik”
Bisnis
Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “Rupiah Tembus Level 9.000/US$”
Bisinis
Indonesia, 8 Juni 2009 hal 2, “Indonesia Cepat Lalui Krisis”
Kompas,
15 Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar”
Bisnis
Indonesia, 3 Juni 2009 hal 4, “Kredit Mulai Tumbuh”