logo gunadarma

logo gunadarma
Univ. Gunadarma

Senin, 06 Mei 2013

Review Analisi Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal Wa Tamwil


Judul      : Analisi Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan  Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal Wa Tamwil
Penulis : Kaffi Wanatul Ma’wa
Tema   : Hukum Perdata        

ABSTRAK
Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan mengenai analisis perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Pemilihan tema tersebut dilatar belakangi oleh banyaknya koperasi-koperasi berbasis syariah dalam hal ini Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarkat, yang mana kegiatan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat seperti halnya kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam. Pada prinsipnya sangatlah berbeda, dimana Koperasi Simpan Pinjam berbasis konvensional sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil berbasis syariah. Secara yuridis, koperasi tersebut menggunakan Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah sebagai payung hukum dalam melaksanakan kegiatannya. Dalam prakteknya, kegiatan usaha koperasi ini sama dengan Koperasi Simpan Pinjam dan juga memiliki kemiripan dengan konsep kegiatan perbankan syariah. Sehingga dengan mengambil permasalahan dengan menganalisis perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil, dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara keduanya. Hal ini bertujuan agar supaya pemerintah dapat memberikan perlindungan hukum dalam hal ini Undang-undang bagi Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil, sebab pada konsepnya Koperasi ini merupakan jenis baru dari koperasi-koperasi yang ada. Dan dalam Undang-undang Perkoperasian pun belum diatur secara jelas.
Kata kunci: Badan Hukum Koperasi, Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Jasa Keuangan Syariah, Baitul Maal wa Tamwil.

ABSTRACT
In this paper, the authors raise concerns regarding the comparative analysis between the Cooperative Credit Unions Financial Services Islamic Baitul Maal wa Tamwil. The selection of these themes against the backdrop of the many co-operatives in this Sharia Islamic Financial Services Cooperative Baitul Maal wa Tamwil that grow and thrive in the midst of society, in which business activities raise and channel funds to the community as well as the business activities of Credit Unions. In principle very different, with conventional-based Credit Unions, while Cooperative Financial Services Baitul Maal wa Tamwil Islamic sharia. Legally, the cooperative uses Minister of Cooperatives and Small and Medium Enterprises No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 On the Implementation Operations Cooperative Financial Services Sharia as law in carrying out its activities. In practice, these cooperative activities with Credit Unions and also has similarities with the concept of Islamic banking activities. So by taking the problem by analyzing the ratio between the Cooperative Credit Unions Financial Services Islamic Baitul Maal wa Tamwil, can know the similarities and differences between the two. It is intended so that the government can provide legal protection under this Act for the Cooperative Financial Services Islamic Baitul Maal wa Tamwil, because the cooperative concept is a new kind of existing cooperatives. And the Cooperatives Act was not clearly regulated.
Keywords: Agency Law of Cooperatives, Credit Unions, Financial Services Cooperatives Sharia, Baitul Maal wa Tamwil.

A. PENDAHULUAN
Lembaga sektor keuangan sangat dibutuhkan dalam mendukung permodalan dalam sektor riil, hal ini sudah dirasakan fungsinya sejak beberapa puluh tahun yang lalu di Indonesia dengan konsep perbankan, baik yang berbentuk konvensional (berdasarkan kapitalis maupun sosialis) dan berprinsip syariah. Akan tetapi perbankan itu sendiri belum menyentuh terhadap usaha mikro dan kecil (UKM) baik dari pedagang kaki lima sampai pedagang-pedagang yang berada di pasar tradisional yang biasanya disebut ekonomi rakyat kecil. Hal ini disebabkan keterbatasan jenis usaha dan aset yang dimiliki oleh usaha kelompok tersebut. Padahal jika diperhatikan secara seksama justru presentase UMK jauh lebih besar dari usaha-usaha menengah dan besar di pasar Indonesia, sehingga kebutuhan permodalan UMK tidak terpenuhi yang pada akhirnya apabila hal ini terus menerus berlanjut maka tidak dapat dipungkiri hilangnya UMK itu sendiri di Indonesia, sehingga akan terjadi ketimpangan pasar dalam ekonomi yang pasti akan menciptakan pengangguran-pengangguran di Indonesia. Berdasar pada amanat yang terkadung dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Dalam penjelasan pasal ini menyatakan bahwa kemakmuran masyarakat sangat diutamakan bukan kemakmuran orang perseorangan dan bentuk usaha seperti itu yang tepat adalah Koperasi. Atas dasar pertimbangan itu maka disahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1992 pada tanggal 12 Oktober 1992 tentang Perkoperasian oleh Presiden Soeharto kemudian diperbarui dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. (3)

Dalam penulisan ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah koperasi simpan pinjam. Koperasi simpan pinjam atau biasa disebut dengan koperasi kredit adalah koperasi yang bergerak dalam bidang pemupukan simpanan dari para anggotanya, untuk kemudian dipinjamkan kembali kepada anggota yang memerlukan bantuan modal.1 Pelaksanaan simpan pinjam oleh koperasi dan tata cara pendiriannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi.
Pada perkembangannya di Indonesia sekarang, ada beberapa pihak yang menyambungkan permasalahan ekonomi saat ini dengan prinsip syariah. Sistem perekonomian yang sesuai dengan prinsip syariah telah dipraktikkan dan melembaga di Indonesia sejak lama, masyarakat Indonesia telah mengenal ekonomi syariah bahkan jauh sebelum sistem kapitalis dikenal bangsa Indonesia, yaitu dengan praktik bagi hasil antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Dalam perkembangannya bahkan memiliki peran secara nasional terbukti dengan didirikannya Syarikat Dagang Islam pada tahun 1909. Kemudian muncul konsep perbankan syariah dan diikuti lembaga keuangan di luar struktur perbankan, seperti Baitul Maal wa Tamwil, asuransi Takaful, pegadaian syariah dan pasar modal syariah.(2)
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia tidak diikuti dengan pengaturan atau landasan hukum yang memadai, sebagai contoh Baitul Maal wa Tamwil atau selanjutnya disebut BMT dalam penulisan ini. BMT memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan jenis – jenis koperasi yang telah ada, karena selain memiliki misi komersial (baitut tamwil) juga memiliki misi sosial (baitul maal), oleh karenanya BMT bisa dikatakan sebagai jenis baru dari jenis-jenis koperasi yang telah ada. belum ada landasan hukum yang memadai bagi beroperasinya BMT di Indonesia, walaupun beberapa BMT mengambil bentuk hukum koperasi, namun hal ini masih bersifat pilihan, dan bukan keharusan. Untuk BMT yang berbadan hukum koperasi, maka Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi Jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Disisi lain, dalam prakteknya BMT melakukan kegiatan operasionalnya berdasarkan Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. : 91 /Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah. Jika BMT memilih menggunakan badan hukum dengan bentuk koperasi, maka BMT memiliki persamaan dengan koperasi simpan pinjam mengenai status badan hukumnya yang berbentuk koperasi. Disisi lain BMT mempunyai perbedaan dengan koperasi simpan pinjam, dilihat dari prinsipnya sudah jelas berbeda karena koperasi simpan pinjam berbasis konvensional sedangkan BMT berbasis syariah. Dari sini dapat dilakukan perbandingan hukum dengan koperasi simpan pinjam mengingat adanya kekaburan hukum mengenai pengaturan BMT yang berbasis syariah dalam peraturan perundang-undangan. Dilihat dari aspek status kelembagaan, pengaturan pendirian dan konsep dasar operasional.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Masalah yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana perbandingan hukum (persamaan dan perbedaan) antara koperasi simpan pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil dilihat dari:
1. Status kelembagaan;
2. Pengaturan Pendirian; dan
3. Konsep Dasar Operasional.

C. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif. Penelitian yuridis-normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya yang objeknya adalah hukum itu sendiri.3 Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer:
a) Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
b) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian;
c) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi;
f) Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah;
g) Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 98/Kep/M.KUKM/IX2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi.
2) Bahan Hukum Sekunder:
 Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku – buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, penjelasan Undang-undang dan jurnal - jurnal hukum.(4)

3) Bahan Hukum Tersier
a) Kamus Hukum;
b) Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Metode perolehan bahan hukum penelitian ini, baik untuk bahan hukum primer, sekunder dan tersier dilakukan melalui studi kepustakaan. Yaitu dengan 6 cara membaca buku-buku, peraturan perundang-undangan, situs-situs di internet dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Dalam menganalisa bahan-bahan hukum metode analisa yang digunakan adalah interpretasi ekstensif, dan gramatikal secara kualitatif, sedangkan metode perbandingan yang digunakan adalah nomoscopy, perbandingan formal (formelle rechtsver gleichung), perbandingan dogmatik (dogmatische rechtvergleivhung), dan perbandingan material dengan menggunakan ketentuan hukum yang berkaitan dengan status kelembagaan, dasar pembentukan dan operasional koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan syariah Baitul Maal wa Tamwil.

(1) Revrisond Baswir,Koperasi Indonesia Edisi Pertama,Fakultas Ekonomi UGM,Yogyakarta,2000,hlm 78
(2) Eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan syariah di Indonesia,dipublikasikan pada jurnal hukum Pro Justitia tahun XXII No.4 Oktober 2004 hlm 71-84,ISSN:0215-7519 dan pada buku Kapita Selekta Hukum Perdata (Editor Toto Tohir), FH Unisba,2004.

(3) Johnny Ibrahim,Teo ri&Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Bayumedia,Malang,2011,hlm 57
(4) Ibid hlm 155

Review Analisis Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan KoperasiJasa Keuangan Syariah Baitul Maal Wa Tamwil


Judul  : Analisis Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal Wa Tamwil
Penulis : Kaffi Wanatul Ma’wa
Tema   : Hukum Perdata        

E. PENUTUP
Kesimpulan dari penulisan ini adalah:
1) Perbedaan mengenai status kelembagaan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah terletak pada struktur organ dan modal Koperasi. Dimana dalam Koperasi Jasa Keuangan Syariah yang berkedudukan sebagai Pengawas adalah Dewan Pengawas Syariah dan penyetoran modal awal koperasi melalui bank syariah. Sedangkan dalam Koperasi Simpan Pinjam penyetoran modal awal melalui Bank Pemerintah. Persamaannya terdapat pada asas atau landasan kerja dan status kelembagaan yang berupa badan hukum berbentuk Koperasi. Dimana asas yang digunakan kedua Koperasi ini mengacu pada asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang telah diperabarui dengan Undang-undang 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
2) Perbedaan dalam hal pendirian antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil terdapat pada saat sebelum penandatanganan akta. Dimana pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil terdapat PINBUK sebagai lembaga pengembang BMT, sedangkan dalam Koperasi Simpan Pinjam tidak ada. Pendaftaran status badan hukum Koperasi. Dimana Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil mengajukan permohonan pengesahan status badan hukum kepada Menteri Koperasi c.q Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, instansi yang membidangi Koperasi setempat. Sedangkan Koperasi Simpan Pinjam mengajukan permohonan pengesahan status badan hukum kepada Menteri Koperasi c.q Kepala Kantor Wilayah Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi/DI dari Kabupaten/kodya tempat anggota atau Kantor Koperasi. Persamaan yang terdapat dalam kedua Koperasi ini adalah pada saat penandatanganan akta Koperasi dan Pengumuman Berita Negara Republik Indonesia. Akta Koperasi sama-sama harus dibuat secara otentik. Dan pengesahan badan hukum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Menteri.
3) Perbedaan konsep dasar operasional antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil sangat terlihat jelas.
16


Dimana Koperasi Simpan Pinjam mengambil keuntungan dengan cara sistem bunga, sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil dengan cara sistem bagi hasil. Dalam hal penyaluran dana, Koperasi Simpan Pinjam hanya memiliki satu akad saja, yaitu pinjam meminjam (utang piutang). Sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil memiliki beberapa akad diantaranya akad kerja sama, jual beli, sewa dan pinjaman. Persamaannya terdapat pada perikatan yang timbul adalah perikatan yang lahir karena adanya kesepakatan (perjanjian). Dan sama-sama memiliki pengaturan mengenai pembebanan jaminan pada kegiatan pinjaman dan pembiayaan.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
An-Nabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (an-Nidham al-Qistishadi fil Islam) diterjemahkan oleh Maghfur Wachid. Surabaya: Risalah Gusti.
Antonio, Muhammad Syafii, tim tazkia. 2010. Ensiklopedia Leadreship & Manajemen Muhammad SAW “The Super Leader Super Manager” Bisnis dan Kewirausahaan. Jakarta: Tazkia Publishing.
Ascarya. 2006. Akad&Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Baswir, Revrisond Baswir. 2000. Koperasi Indonesia Edisi Pertama. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
Dewi, Gemala. Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti. 2005. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Djazuli, Yadi Janwari. 2002. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Firdaus, Agus Edhi Susanto. 2002. Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hendar, Kusnadi. 2005. Ekonomi Koperasi Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Ibrahim, Johnny. 2011 Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. 17

Imaniyanti, Neni Sri. 2010. Aspek-aspek Hukum BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Bandung: Citra Aditya Bakti.
Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Muhammad. 2000. Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer.Yogyakarta: UII Press.
Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan di Indonesia Cetakan Keempat Revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Oey Hoey Tiong. 1985. Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pachta W,Andjar, et al. 2007. Hukum Koperasi Indonesia pemahaman, regulasi, pendidikan, dan modal usaha. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban Editor Mompang L. Panggabean. Jakarta: UKI Press.
Salim. 2011. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sartika Pratomo, Tiktik dan Abdul Rahman Soedjodono. 2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah & Koperasi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Siddiqi , M.Najetullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law), diterjemahkan oleh Fakhriyah Mumithani. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa.
Sitio, Arifin dan Halomoan Tamba. 2001. Koperasi Teori dan Praktik. Jakarta: Erlangga.
Soeroso. 2010. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti. 2001. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Illustrasi Edisi ke-dua. Yogyakarta: Ekonisia FE UII.
Susanto, Burhanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
__________________. 2010. Aspek-aspek Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 18

Widodo, Hertanto dkk. 1999. PAS (Pedoman Akuntansi Syariah), Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil. Jakarta : Mizan.
PERATURAN PERUNDNAG-UNDANGAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1994 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi.
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah.
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 98/Kep/M.KUKM/IX2004 Tentang Notaris Sebagai Pembuat Akta Koperasi.
JURNAL
Toto Tohir. 2004. Eksistensi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan syariah di Indonesia. Jurnal hukum Pro Justitia. Volume XXII FH Unisba.
MAKALAH
Jainury Bayu, Ardiansyah, Fery Anggriyawan. 2010. Makalah Perbandingan Hukum Perdata. Fakultas hukum UPN Veteran Jawa Timur.
M. Akhyar Adnan. Beberapa Issue Di Sekitar Pengembangan Lembaga Keuangan Berdasarkan Syariah. Makalah disajikan dalam Seminar dan Talk Show Peran Ulama Dalam Sosialisasi dan Pengembangan Lembaga Keuangan Syariah, (diselenggarakan oleh ASBISINDO Wilayah Jateng-DIY), 1999.
INTERNET
KJKS BMT-UGT Sidogiri News,Perkembangan Koperasi Syariah, http://www.Bmtugtsidogiri.co.id. (7 Agustus 2012).
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), Pedoman Cara Pembentukan BMT, http://www.pinbuk.org. (5 Desember 2012).

Review Analisi Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan KoperasiJasa Keuangan Syariah Baitul Maal Wa Tamwil


Judul  : Analisi Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan KoperasiJasa Keuangan Syariah Baitul Maal Wa Tamwil
Penulis : Kaffi Wanatul Ma’wa
Tema    : Hukum Perdata        

D. PEMBAHASAN
Pembahasan pertama mengenai status kelembagaan, dimana dalam penulisan ini perbandingan mengenai status kelembagaan dilihat dari perbandingan asas, status kelembagaan, struktur organisasi koperasi dan modal koperasi. Asas antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil tidak memiliki perbedaan. Hal ini didasarkan pada Pasal 5 Keputusan Menteri Koperasi Nomor 96/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Pedoman Standar Manajemen Koperasi Simpan Pinjam dan Bab I huruf (e) Standar Operasional Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah.
Karena asas merupakan landasan dan latar belakang bagi koperasi dalam menjalankan sistem dan kegiatan usahanya, maka dari sini dapat diketahui bagaimana status kelembagaan kedua koperasi ini. Jika dilihat dari klasifikasi bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, Koperasi merupakan suatu badan usaha yang harus berbadan hukum. Mengingat hal tersebut, maka pendirian Koperasi harus dibuat secara otentik dan disahkan oleh Menteri. Konsekuensinya setiap Koperasi yang didirikan di Indonesia harus berpedoman pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Jo Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Berdasarkan ketentuan tersebut sudah jelas bahwa pendirian-pendirian Koperasi harus mempunyai status badan hukum yang disahkan oleh Menteri. Baik itu Koperasi Simpan Pinjam maupun Koperasi Jasa 7

Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Karena jika kedua lembaga ini berbentuk koperasi maka harus tunduk pada peraturan perundang-undangan tentang perkoperasian yang berlaku. Meskipun Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian tidak mengatur mengenai ketentuan tentang Koperasi berbasis syariah. Namun, pada saat Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil banyak muncul di tengah masyarakat dan terbukti membawa dampak positif terhadap perkembangan perekonomian masyarakat. Maka diatur lah dalam Undang-undang tentang perkoperasian yang baru. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 87 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian.
Mengenai perbandingan struktur organ antara Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Mengingat dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Jo Pasal 31 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa Koperasi mempunyai perangkat organisasi Koperasi yang terdiri atas Rapat Anggota, Pengawas dan Pengurus. Maka Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tawmil memiliki kesamaan dalam hal struktur organisasi, dimana kedua lembaga ini struktur organisasinya terdiri dari Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas. Perbedaannya terletak pada pengawas koperasi, dimana pengawas Koperasi Simpan Pinjam bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan dan pengelolaan Koperasi serta membuat laporan hasil pengawasannya dan bertanggung jawab kepada Rapat Anggota. Sedangkan dalam Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil yang bertugas sebagai pengawas adalah Dewan Pengawas Syariah yang dipilih berdasarkan keputusan Rapat Anggota dan beranggotakan alim ulama yang ahli dalam syariah (keuangan bank dan atau koperasi) yang bertugas untuk melakukan pengawasan kesyariahan. Oleh karena itu, Dewan Pengawas Syariah bekerja atas pedoman-pedoman yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia dalam hal ini Dewan Syariah Nasional.
Mengenai perbandingan modal antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil terdapat perbedaan yang mendasar terletak pada penyetoran modal awal masing-masing Koperasi. Dimana 8

Koperasi Simpan Pinjam penyetoran modal diwujudkan berupa deposito pada Bank Pemerintah yang disetorkan atas nama Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah c.q. Ketua Koperasi Simpan Pinjam yang bersangkutan. (Lampiran Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Nomor 351/Kep/M/XII/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi). Sedangkan dalam Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil penyetoran modal awal dalam bentuk deposito kepada bank syariah yang disetorkan atas nama Menteri c.q Ketua Koperasi yang bersangkutan yang dapat dicairkan sebagai modal awal Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah atas dasar persetujuan pencairan oleh Menteri atau Pejabat. (Pasal 4 huruf (c) Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah). Kedua lembaga ini memiliki persamaan struktur modal yaitu adanya Modal Sendiri dan Modal Pinjaman. Hanya saja dalam Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil modal yang disetor pada awal pendirian Koperasi disebut modal disetor. (Terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 dan Pasal 21 Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah).
Pembahasan kedua mengenai perbandingan pengaturan pendirian antara Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil dilihat dari penandatanganan akta pendirian koperasi, pendaftaran status badan hukum dan pengumuman Berita Negara Republik Indonesia. Pada tahap penandatanganan akta pendirian, kedua lembaga ini memiliki persamaan yaitu akta pendirian koperasi harus dibuat secara otentik dan dihadiri oleh dinas atau pejabat Koperasi setempat. Karena kedua lembaga ini berbentuk badan hukum Koperasi maka harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Koperasi. (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Pasal 3 Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha 9

Koperasi Jasa Keuangan Syariah). Perbedaan antara kedua lembaga ini terdapat pada saat sebelum penandatanganan akta pendirian Koperasi didepan Notaris. Dimana Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tawmil koordinasi terlebih dahulu dengan PINBUK (Pusat Inkubasi Usaha Kecil) sebagai lembaga pengembang BMT.5 Sedangkan dalam Koperasi Simpan Pinjam tidak ada. Meskipun adanya koordinasi PINBUK dalam pendirian BMT, BMT sebagai badan hukum koperasi harus tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk perkoperasian. Sesuai Pasal 3 ayat (3) Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah.
5 PINBUK merupakan singkatan dari Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil atau Center for Mikro Enterprise Incubation didirikan pada tanggal 13 Maret 1995 di Jakarta oleh Prof.Dr.B.J. Habibie Ketua Umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia), alm.K.H. Hasan Basri Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Zainul Bahar Noor,SE (Direktur Utama Bank Muammalat Indonesia). PINBUK didirikan sejak tahun 1995 dengan mengembangkan model Lembaga Keuangan Mikro-Baitul Maal wa Tamwil (LKM-BMT) sebagai strategi pemberdayaan masyarakat melalui penumbuh kembagan keswadayaan dan kelembagaan sosial ekonomi yang dapat menjangkau dan melayani lebih banyak unit usaha mereka yang tidak mungkin dijangkau langsung oleh perbankan umum.
Mengenai perbandingan pendaftaran status badan hukum antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Persamaan antara kedua lembaga ini adalah sama-sama dilakukan di Dinas Koperasi setempat. Dimana Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil bertempat kedudukan sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Koperasi tersebut. Sedangkan perbedaannya terletak pada Perbedaan pendaftaran status badan hukum terletak pada pengajuan permohonan pengesahan status badan hukum koperasi. Dimana Koperasi Simpan Pinjam mengajukan permohonan kepada Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah c.q . Kepala Kantor Wilayah Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Propinsi/DI. dari Kabupaten/kodya tempat anggota atau Kantor Koperasi berdomisili. Selanjutnya Kepala Kantor Wilayah mengeluarkan surat keputusan tentang pengesahan akta pendirian Koperasi Simpan Pinjam. (Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Nomor : 10

39/KEP/M/VII/1998 tentang Penunjukan Pejabat yang berwenang untuk memberikan pengesahan Akta Pendirian dan perubahan anggaran Dasar serta Pembubaran Koperasi). Sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil pengajuan permohonan pengesahan status badan hukum kepada Menteri c.q Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, atau instansi yang membidangi koperasi tingkat propinsi setelah terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi Pejabat setingkat tempat domisili koperasi yang bersangkutan dan selanjutnya Menteri mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya. (Pasal 5 Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah).
Mengenai perbandingan pengumuman Berita Negara Republik Indonesia antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil tidak terdapat perbedaan dalam hal pengumuman Berita Negara atas pengesahan status badan hukum antara Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Ketika koperasi sudah mendapatkan pengesahan badan hukum dari Menteri atau Pejabat yang berwenang, maka saat itu lah koperasi resmi menjadi badan hukum. (Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Jo Pasal 24 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian).
Pembahasan ketiga mengenai perbandingan konsep dasar operasional antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil yang dilihat dari konsep dasar operasional, penghimpunan dana, penyaluran dana dan perjanjian jaminan. Dalam hal konsep dasar operasional kedua lembaga ini memiliki persamaan yaitu perikatan yang timbul merupakan lahir dari perjanjian, baik simpan pinjam pada Koperasi Simpan Pinjam maupun pembiayaan pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. (Pasal 1313 dan 1765 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Oleh Koperasi, Pasal 1 angka (8) Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah 11

dan QS an-Nisa (4):12). Sedangkan perbedaan terletak pada Perbedaan mengenai sistem pengambilan keuntungan, dimana Koperasi Simpan Pinjam memakai sistem bunga pada kegiatan operasionalnya. Sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil memakai sistem bagi hasil pada kegiatan operasionalnya. (Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Oleh Koperasi, Pasal 1 angka (8) Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah).
Perbandingan mengenai penghimpunan dana antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil memiliki persamaan dalam yang terdapat pada tabungan dan simpanan berjangka dengan wadi’ah dan mudharabah adalah pihak yang melakukan kegiatan tersebut sama, yaitu anggota, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya. Objeknya juga sama yaitu uang. Secara teknis hampir sama, yang membedakan adalah sistem mengambil keuntungannya. Dimana Koperasi Simpan Pinjam memakai sistem bunga sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil memakai sistem bagi hasil. (Pasal 19 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Pasal 22 Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah). Pemberian Bunga pada Koperasi Simpan Pinjam telah diperjanjikan di awal dan besarnya bunga diperjanjikan di awal, perhitungan bunga simpanan menggunakan accural basis dimana pembayaran bunga simpanan dilakukan setiap bulan dan seluruh pembayaran bunga dikreditkan secara langsung ke dalam masing-masing rekening simpanan koperasi yang bersangkutan. Sedangkan pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah pemberian bonus atau bagi hasil tidak boleh diperjanjikan di awal dan besarnya tergantung dari kebijakan KJKS BMT sesuai pendapatannya. Dalam hal simpanan berjangka dan mudharabah. Simpanan berjangka pada Koperasi Simpan Pinjam, bunga simpanan berjangka dihitung berdasarkan presentase/tingkat suku bunga per tahun x jangka waktu penyimpanan x nominal simpanan berjangka, dan akan dibayar 12

setiap jatuh tempo simpanan berjangka tersebut. Sedangkan dalam KJKS BMT, penghitungan bagi hasil mudharabah dihitung berdasarkan distribusi bagi hasil atau revenue sharing dimana bagi hasil dihitung dari total pendapatan atas pengelola dana mudharabah dan akan dibayar setiap akhir bulan. Dan metode profit sharing dimana bagi hasil dari pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi dengan beban dan biaya-biaya atas pengelolaan dana modal tersebut. (Standar Operasional Prosedur Koperasi Simpan Pinjam dan Pasal 22 ayat (4) Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah).
Mengenai perbandingan penyaluran dana antara Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Kedua lembaga ini memiliki persamaan dalam melakukan perjanjian pinjaman pada Koperasi Simpan Pinjam dan Perjanjian Pembiayaan pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Perjanjian pinjaman/pembiayaan dalam kedua lembaga ini harus tertulis dan mengatur berbagai hal yang telah disepakati. Apabila jumlah pinjaman maupun pembiayaan di atas plafon yang telah ditetapkan, disarankan untuk membuat akta di depan notaris atas sepengetahuan rapat anggota. Perbedaannya terletak pada akad penyaluran dana, dimana Koperasi Simpan menggunakan akad utang piutang dalam kegiatan simpan pinjamnya. Sedangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil menggunakan akad kerjasama dalam kegiatan pembiayaannya, disamping itu juga terdapat akad jual beli dan sewa serta pinjam meminjam Qardh. Pada Koperasi Simpan Pinjam menggunakan akad Pinjaman yang pada akhirnya si peminjam harus memberikan imbalan berupa bunga pada Koperasi. Sedangkan pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil menggunakan istilah pembiayaan yang mengharuskan di peminjam mengembalikan biaya pokok saja dan imbalan yang diberikan kepada KJKS BMT berupa bagi hasil dari pembiayaan tersebut. Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil dapat menjadi penyalur dana Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) yang berperan sebagai fungsi sosial. Sedangkan dalam Koperasi Simpan Pinjam tidak ada. (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam 13

Oleh Koperasi dan Pasal Pasal 23 dan 24 Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiataan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah).
Perbandingan mengenai perjanjian jaminan antara Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil. Persamaan antara kedua lembaga ini yaitu terdapat ketentuan diperbolehkannya pembebanan agunan sebagai jaminan dalam pemberian pinjaman dalam KSP maupun pembiayaan dalam KJKS BMT. (Pasal 21 ayat Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 19/Per/M.KUKM/XI/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam Oleh Koperasi dan Pasal 28 Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah). Sedangkan perbedaannya terletak pada Adanya Lembaga Penjamin/Asuransi Kredit dalam Koperasi Simpan Pinjam untuk mengurangi resiko kredit dengan pengajuan klaim, sedangkan dalam Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil tidak terdapat ketentuan seperti itu. Perjanjian jaminan pada Koperasi Simpan Pinjam telah diatur secara jelas dalam KUHPerdata, karena akad yang digunakan adalah pinjam meminjam (utang-piutang). Berdasarkan hukum syariah, tidak ada ketentuan mengenai jaminan dalam hal pembiayaan maupun pinjam meminjam (Qardh). Adanya jaminan dalam konsep Rahn (gadai), dimana agunan dapat dijadikan jaminan pinjaman utang dengan syarat penjualan jaminan dilakukan secara lelang agar si peminjam (pemberi gadai) mempunyai kesempatan untuk memperoleh harga tertinggi.
Berdasarkan hasil analisis diatas, maka dapat diambil kesimpulan dan disajikan pada tabel dibawah ini: 14

Tabel Perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil

Aspek Perbedaan
Koperasi Simpan Pinjam
 Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Maal wa Tamwil

Struktur Organ

Pengawas

Dewan Pengawas Syariah
Modal
Penyetoran modal awal disetorkan kepada Bank Pemerintah.
Penyetoran modal awal disetorkan kepada Bank Syariah.
Penandatanganan A
 rapat pembentukan langsung menghadap Notaris untuk otentitas akta pendirian Koperasi.
Sebelum menghadap Notaris, ada koordinasi dengan PINBUK sebagai pengembang BMT.
Pendaftaran Status Badan Hukum
Diajukan kepada Menteri Koperasi c.q Kepala Kantor Wilayah Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah setempat.
Diajukan Kepada Menteri Koperasi c.q Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Instansi yang membidangi Koperasi setempat setelah mendapat rekomendasi pejabat setingkat tempat domisili koperasi yang bersangkutan.
Konsep Dasar Operasional
Bunga
Bagi Hasil
Penghimpunan Dana

a) Tabungan
b) Simpanan Berjangka


a) Wadi’ah (titipan)
b) Mudharabah (Simpanan Berjangka)

Penyaluran Dana
Utang piutang

a) Qardh (Pinjaman)
b) Musyarakah (Kerjasama)
c) Mudharabah (Kerjasama)
d) Murabahah (Kerjasama)
e) Salam (Jual Beli)
f) Istisna (Jual Beli)
g) Ijarah (Sewa)



Fungsi Sosial
-
Berperan sebagai penyalur dana Infaq, Zakat dan Shodaqah (ZIS) serta maal.
Perjanjian Jaminan
Diperbolehkan, sebab jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian pokok yaitu utang piutang.
Diperbolehkan, pada prakteknya dengan cara memisahkan akad dalam perjanjian. Jadi akad yang digunakan jaminan agunan menggunakan akad Rahn (gadai).


Review PELELANGAN HARTA DEBITOR DALAM KEPAILITAN


Judul                    : PELELANGAN HARTA DEBITOR DALAM KEPAILITAN
       (The Execution Of The Debtors Property In Bancruptcy)
Penulis                  : Ishak
Tema                    : Hukum Perdata 

Abstract
Key Words: The Execution in Bancruptcy
The settlement of febtors debt with concurrent creditors can use the bankruptcy law. The settlement can achieve justice for concurrent creditors. The regislation of present bankruptcy is under the Act Number 37 of 2004. When the debtor started insolvent, it has no loyer has the private right. The bankruptcy has also effect of preferent creditors, in the go days time frame the execution of the collateral has to be cancelled. Basically, the sale of bankruptcy property should be implemented through sale execution, if this fail, the under hand sale can then beperformed. The result after finishing the lost for the execution, curation’s fee, and other rememeration, is used for the payment of debts to concurrent creditors propositionally and if the debts are still available, the debtor should pay the rest of debt. When all debts have been paid, the debtors or hir/her succession can propore rehabilitation to the comarcial court that grout the status of bankrupt.

Penyelesaian utang dengan kreditur konkuren febtors dapat menggunakan
kebangkrutan hukum. Penyelesaian dapat mencapai keadilan bagi kreditor konkuren.itu
regislation kebangkrutan saat berada di bawah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketika debitur pailit mulai, ia memiliki Loyer tidak memiliki hak pribadi. Kepailitan memiliki juga efek dari kreditur preferent, dalam kerangka waktu hari pergi pelaksanaan agunan harus dibatalkan. Pada dasarnya, penjualan harta pailit harus dilaksanakan melalui eksekusi penjualan, jika gagal ini, penjualan tangan di bawah kemudian dapat beperformed. Hasil setelah menyelesaikan hilang untuk eksekusi, biaya kurasi itu, dan rememeration lainnya, digunakan untuk pembayaran utang kepada kreditur konkuren propositionally dan jika utang masih tersedia, debitur harus membayar sisanya dari utang. Ketika semua hutang telah dibayar, debitur atau hir / suksesi nya bisa propore rehabilitasi ke pengadilan comarcial bahwa grout status bangkrut.

BAB I
Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi utang-piutang antara pihak yang satu dengan lainnya. Dalam hubungan hukum utang-piutang para pihak dapat berupa orang atau badan usaha (perusahaan) dan para pihak tersebut dinamakan debitor dan kreditor. Debitor kadangkala berutang tidak hanya pada satu kreditor tetapi pada beberapa kreditor. Terhadap piutang (utang) kreditor oleh debitor ada yang diberi/ditunjuk jaminan kebendaan secara khusus dan kreditor tersebut dinamakan kreditor separatis. Sedangkan kreditor yang tidak mendapatkan jaminan kebendaan secara khusus dinamakan kreditor konkuren. Jaminan suatu hutang juga dapat berupa jaminan perorangan dan hal tersebut dinamakan penanggungan atau borgtocht. Suatu hutang yang tidak ada jaminan Ishak, S.H., M.H., adalah Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
secara khusus, maka hutang tersebut hanya ada jaminan secara umum terhadap kekayaan debitor yang belum menjadi jaminan hutang kreditor separatis. Debitor berkewajiban melunasi hutang kreditor jika hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apabila debitor ingkar janji/wanprestasi dalam melunasi utangnya, maka menimbulkan persoalan bagi kreditor konkuren karena tidak ada harta debitor secara khusus yang dapat dijual/dilelang untuk pelunasan atau pembayaran hutangnya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan para kreditor konkuren saling mendahului dalam mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang berwenang untuk mendapatkan pelunasan hutangnya dari harta debitor yang belum menjadi jaminan hutang kreditor separatis. Keadaan di atas dapat menimbulkan ketidakadilan diantara para kreditor konkuren karena dimungkinkan ada kreditor konkuren yang tidak mendapat sedikitpun pembayaran hutangnya, jika harta debitor sangat minim dan telah habis untuk pembayaran hutang kreditor yang duluan mengajukan gugatan. Hal tersebut dapat diatasi apabila piutang/hutang kreditor konkuren penyelesaiannya secara kepailitan.
Apabila debitor dinyatakan pailit/bangkrut oleh pengadilan niaga yang berwenang, maka debitor kehilangan hak perdata terhadap harta kekayaannya. Demi hukum harta kekayaan debitor dalam keadaan sita dan akan dilelang untuk membayar hutang para kreditor konkuren. Pernyataan pailit debitor juga menimbulkan akibat hukum terhadap kreditor separatis karena dalam tenggang waktu tertentu kreditor tersebut harus menangguhkan pelelangan jaminan hutangnya, meskipun hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Disisi lainnya, pernyataan pailit debitor akan mengakibatkan semua hutang kreditor separatis jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengaturan kepailitan pada saat ini Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443 dan mulai berlaku tanggal 18 Oktober 2004. Undang-Undang tersebut juga mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mencabut 2 (dua) ketentuan sebelumnya tentang kepailitan yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 jo Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Stb. Tahun 1905 Nomor 217 jo Stb. Tahun 1906 Nomor 348.
Dalam artikel ini selanjutnya akan diuraikan tentang pihak-pihak yang terkait dalam proses kepailitan, penangguhan pelelangan dalam kepailitan, dan pelelangan harta pailit.

Review PELELANGAN HARTA DEBITOR DALAM KEPAILITAN


Judul                    : PELELANGAN HARTA DEBITOR DALAM KEPAILITAN
       (The Execution Of The Debtors Property In Bancruptcy)
Penulis                  : Ishak
Tema                    : Hukum Perdata 

BAB II
Penjelasan

A.   Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Kepailitan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 merupakan satu satunya aturan tentang kepailitan pada saat ini. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang tersebut salah satu pertimbangannya karena secara hukum untuk penyelesaian utang-piutang yang terdapat dalam Failismen Verordening, Stb. Tahun 1905 Nomor 217 jo Stb. Tahun 1906 Nomor 348 dan Perpu Nomor 1 Tahun 1998. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang berwenang jika kreditornya 2 (dua) atau lebih dan debitor tidak membayar lunas sedikit dikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitor sendiri, kreditornya, Kejaksaan, Bank Indonesia jika debitor berupa bank, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) jika debitor perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpan dan penyelesaian, Menteri Keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan umum (Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2004). Dalam Padal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa, kepailitan adalah sitaan umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan ketidak mampuan untuk membayar oleh debitor atas utangutangnya yang telah jatuh tempo (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999:11).
Tujuan kepailitan untuk melikuidasi seluruh harta kekayaan debitor oleh curator untuk membayar piutang para kreditor secara adil, merata, dan berimbangan dibawah pengawasan hakim pengawas (Anonimus, 2001 : 7). Pada dasarnya kepailitan merupakan proses pembagian harta debitor kepada para kreditornya (Aria Suyadi, dkk, 2004 : 121). Oleh karenaya maka disyaratkan bahwa kreditor dua/lebih, jika kreditor hanya satu, maka penyelesaiannya secara gugatan biasa kepada pengadilan negeri yang berwenang dengan alasan debitor wanprestasi (Kanun, Edisi Agustus, 2005 : 363). Putusan pernyataan pailit bersifat serta-merta atau dapat dijalankan lebih dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah pengalihan penyembunyian harta oleh debitor (Kanun, Edisi Agustus, 2005 : 365). Putusan pernyataan pailit menyangkut kepentingan publik, maka harus dapat diketahui secara terbuka oleh publik. Harus ada cara bagi publik untuk dapat mengetahui setiap saat mulai proses pengajuan permohonan, pemeriksaan, putusan, perdamaian, dan pengurusan dan pemberesan, dan rehabilitasi debitor (Sutan Reny Syahdeini, 2002 : 185). Putusan pernyataan pailit harus diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) surat kabar harian (Pasal 15 ayat 4 UU Nomor 4 Tahun 2004). Ada beberapa pihak yang terkait dalam proses kepailitan, kreditor dan debitor merupakan dua pihak yang mempunyai hubungan hukum utang-piutang. Kreditor adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undangundang yang dapat ditagih dimuka pengadilan. Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Apabila debitor tersebut telah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan niaga, maka dikatakan debitor pailit (Pasal 1 angka 2, 3 dan 4 UU Nomor 37 Tahun 2004). Dalam proses kepailitan terlihat juga Bank Indonesia, jika debitor suatu bank terlibat juga Bapepam jika debitor perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, atau lembaga penyimpan dan penyelesaian. Terlihat juga Menteri Keuangan jika debitor perusahaan asuransi, reasuransi, dan pension atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan umum. Salah satu dari tiga lembaga tersebut terlibat dalam suatu proses kepailitan karena debitor tersebut atau kreditor tidak boleh mengajukan permohonan pailit (Pasal 2 ayat (3), (4) dan (5) UU Nomor 37 Tahun 2004). Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan atau kepentingan masyarakat luas (Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004).
Pengadilan niaga juga merupakan salah satu pihak yang terkait dalam proses kepailitan. Pengadilan tersebut berada dalam lingkungan peradilan umum dan menangani perkara kepailitan, PKPU dan perkara bidang perniagaan, misalnya perkara bidang hak kekayaan intelektual dan perkara bidang perlindungan konsumen. Pengadilan niaga yang pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakart Pusat. Pembentukan berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 1998. Pada Tahun 1999 dengan Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 telah dibentuk pula Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makasar, Medan, Surabaya dan Semarang. Pengadilan niaga memeriksa dan memutuskan permohonan pailit dengan hakim majelis. Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan niaga, maka telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum, mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup wewenang pengadilan niaga, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela dan telah menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pengadilan niaga. Dengan keputusan presiden dapat diangkat seseorang yang ahli sebagai hakim ad hoc (Pasal 302 ayat (2) dan (30 UU Nomor 37 Tahun 2004). Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2000 tentang Hakim Ad Hoc, bahwa untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, maka harus mempunyai dedikasi, keahlian khusus, sehat rohani dan jasmani dan telah berumur sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun. Dari ketentuan diatas, maka ada 2 (dua) macam hakim pengadilan niaga yaitu hakim karir dan hakim ad hoc. Selain dua macam hakim tersebut, hakim pengadilan niaga dapat digolongkan sebagai hakim pemeriksa/pemutus dan hakim pengawas (Parwoto Wingjosumarto, 2003:126). Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat kurator (Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004). Adapun pihak yang dapat menjadi kurator balai harta peninggalan atau kurator lainnya (Pasal 70 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004). Adapun yang dimaksud kurator lainnya adalah kurator swasta yang adalah orang perorangan (Anonimus, 2001 : 110). Orang perorangan yang dapat menjadi kurator adalah perorangan yang berdomisili di Indonesia, memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004). Adapun yang dimaksud dengan keahlian khusus adalah mereka yang telah mengikuti dan lulus pendidikan kurator. Sedangkan yang dimaksud dengan terdaftar adalah telah memenuhi syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan anggota aktif organisasi profesi kurator (Penjelasan Pasal 70 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004). Disyaratkan juga bahwa, kurator harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor dan kreditor. Persyaratan tersebut demi terlaksananya pengurusan yang baik dan adil. Dimungkinkan adanya curator swasta karena ada kekhawatiran jika yang pailit perusahaan besar, maka balai harta peninggalan tidak mempunyai keahlian yang cukup bertindak sebagai kurator. Pada umumnya kurator swasta adalah para akuntan atau sarjana hokum yang telah lulus pendidikan kurator (Anonimus, 2001 : 12).
Dalam hukum kepailitan selain dikenal kurator balai harta peninggalan dan kurator swasta juga dikenal adanya kurator sementara dan kurator tetap. Kurator sementara merupakan kurator yang ditunjuk sebelum adanya putusan pailit. Sedangkan kurator tetap merupakan kurator yang ditunjuk dalam putusan pailit. Penunjukan kurator dapat dilakukan oleh kreditor maupun oleh debitor. Apabila salah satu pihak tersebut tidak menunjuk kurator swasta, maka demi hukum yang diangkat sebagai kurator balai harta peninggalan (Anonimus, 2001 : 12). Kurator yang telah diangkat setiap waktu dapat dilakukan pengantian oleh pengadilan, baik atas permintaannya sendiri, kurator lainnya, hakim pengawas atau permintaan debitor pailit (Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004). Hakim pengawas merupakan juga salah satu pihak yang terkait dalam proses kepailitan. Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk dalam putusan pailit (Pasal 1 angka 8 UU Nomor 37 Tahun 2004). Sebelum berlakunya UU Nomor 37 Tahun 2004 dan Perpu Nomor 1 Thaun 1998 untuk hakim pengawas disebut hakim komisaris (Munir Fuady, 2005 : 36). Hakim pengawas tugas utamanya mengawasi proses kepailitan (Munir Fuady, 2005 : 96). Secara umum tugas hakim pengawas dalam kepailitan mengawasi pekerjaan kurator dalam mengurus dan membereskan budel pailit, menentukan tanggal pada saat mana tagihan terhadap pihak pailit haru diajukan, menentukan tanggal dan tempat rapat verifikasi dan rapat para kreditor, mengirim sengketa piutang dibantah yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dalam rapat verifikasi kepada pengadilan niaga untuk diselesaikan secara singkat (Anonimus, 2001:13). Hakim pengawas tersebut merupakan salah seorang hakim pengadilan niaga. Selama berlangsungnya pengurusan dan pemberesan harta pailit belum selesai, maka hakim pengawas tetap melakukan tugasnya. Ada kalanya hakim pengawas terikat dengan suatu perkara bertahun-tahun. Dalam hal ini jika hakim pengawas tersebut meninggal dunia, pension atau pindah tugas, maka yang bersangkutan akan diganti oleh hakim pengawas lain berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang bersangkutan (Anonimus: 2001 : 14). Dalam suatu kepailitan juga terkait pejabat lelang jika harta debitor pailit dijual secara lelang. Pejabat lelang adalah pejabat umum yang diangkat oleh menteri keuangan untuk melaksanakan pelelangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 507/KMK 01/2000).


B.   Penangguhan Pelelangan Dalam Kepailitan
       Ada dua macam jaminan hutang yaitu jaminan yang bersifat umum dan jaminan yang bersifat khusus. Jaminan yang bersifat umum lahir karena ketentuan undang-undang sebagai dimaksud dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Jaminan yang bersifat khusus lahir karena perjanjian. Jaminan yang bersifat khusus dapat berupa jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan dapat berupa pand (gadai) sebagimana ditentukan dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUH Perdata, hipotik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata, hak tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan fidusia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Fungsi jaminan secara yuridis adalah untuk kepastian hukum pelunasan utang dalam perjanjian utang-piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian (Anonimus, 1998 : 68). Apabila debitor dinyatakan pailit, maka kreditor separatis dapat melelang jaminan hutangnya seakan-akan tidak ada kepailitan(Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004). Meskipun demikian, namun dalam tenggang waktu tertentu kreditor separatis harus menangguhkan pelelangan jamianan hutangnya. Penangguhan tersebut terjadi karena hokum tanpa perlu diminta oleh kurator (Munir Fuady, 2005:97). Adapun lamanya masa penagguhan pelelangan jaminan tersebut maksimal 90 (Sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004). Penangguhan pelelangan jaminan hutang selain berlaku terhadap pemegang hak tanggungan, hak gadai, hak hipotik dan pemegang hak fidusia, penagguhan tersebut juga berlaku terhadap pemegang jaminan kebendaan lainnya, seperti pemilik barang leasing, pemilik hak retensi kepemilikan, pemberi sewa beli dan pemegang hak reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1145 KUH Perdata (Munir Fuady, 2005 : 99). Penangguhan pelelangan jaminan hutang tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan hutang (Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004).
       Termasuk dalam penangguhan pelelangan jaminan hutang adalah hak kreditor yang timbul dari perjumpaan utang (set off) yang merupakan bagian atau akibat dari mekanisme transaksi yang terjadi di bursa efek dan bursa perdagangan berjangka (Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004). Suatu penangguhan pelelangan jaminan hutang bertujuan, untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, pailit, atau untuk memungkinkan curator melaksanakan tugasnya secara optimal (Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004). Kreditor separatis yang terkena penangguhan pelelangan jaminan hutang harus diberi perlindungan yang wajar. Perlindungan yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi kepentingan pihak tersebut. Perlindungan dimaksud antara lain dapat berupa ganti rugi atas penurunan nilai harta pailit, hasil penjualan bersih, hak kebendaan pengganti, atau imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai lainnya (Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 37 Tahun 2004).
       Terhadap penangguhan pelelangan jaminan hutang, kreditor preferen dapat mengajukan permohonan kepada kurator untuk mengangkat atau merubah syarat-syarat penangguhan tersebut, jika kurator menolak permohonan tersebut, kreditor dapat mengajukan permohonan kepada hakim pengawas, terhadap putusan hakim pengawas kreditor atau kurator dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999 : 59). Terhadap putusan pengadilan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali (Pasal 58 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004). Suatu penagguhan pelelangan jaminan hutang dapat berakhir karena tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari telah lampau, penangguhan tersebut diangkat oleh kurator, hakim pengawas atau pengadilan niaga. Suatu penangguhan pelelangan jaminan hutang juga dapat berakhir jika tercapai perdamaian antara kreditor konkuren dengan debitor pailit, pernyataan pailit dicabut oleh pengadilan niaga atas usul hakim pengawas, tau dimulainya insolvensi harta pailit. Adapun yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar (Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004). Harta pailit berada dalam keadaan insolvensi jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima oleh para kreditor konkuren, atau pengesahan perdamaian ditolak pengadilan niaga dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 178 UU Nomor 37 Tahun 2004). Pelelangan jaminan hutang kreditor separatis dalam masa penangguhan pelelangan dilakukan oleh kurator jika harta tersebut berada dalam pengawasan kurator dan telah diberi perlindungan yang wajar kepada kreditor separatis. Pelelangan jaminan hutang oleh kreditor separatis dapat dilakukan dalam masa sebelum adanya putusan pailit, setelah berakhirnya masa penangguhan pelelangan sampai dengan insolvensi harta pailit dan dalam masa 2 (dua) bulan sejak insolvensi harta pailit (Munir Fuady, 2005 : 102 dan 103). Setelah lewat 2 (dua) bulan sejak insolvensi harta pailit, kreditor separatis tidak berwenang lagi melelang jaminan hutangnya dan kewenangan pelelangan beralih kepada kurator. Apabila hasil pelelangan jaminan hutangnya tidak cukup untuk pelunasan hutangnya kreditor separatis, maka kreditor tersebut dapat mendaftarkan sisa hutangnya kepada kurator. Akan tetapi jika hasil pelelangan jaminan hutangnya ada sisa setelah diambil untuk pelunasan hutangnya, maka kreditor separatis harus mengembalikan sisa tersebut kepada kurator.